Beranda | Artikel
Cabang-Cabang Dari Kaidah Al-Ghashab
Kamis, 23 Juli 2020

Bersama Pemateri :
Ustadz Erwandi Tarmizi

Cabang-Cabang Dari Kaidah Al-Ghashab merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, M.A. dalam pembahasan Kitab Zadul Mustaqni. Kajian ini disampaikan pada Kamis, 2 Dzulhijjah 1441 H / 23 Juli 2020 M.

Kajian Islam Ilmiah Tentang Cabang-Cabang Dari Kaidah Al-Ghashab

Masih dalam Bab Al-Ghashab tentang beberapa cabang-cabang dari kaidah Al-Ghashab (menguasai hak orang lain dengan cara paksa dan bukan atas nama hak).

Mualif berkata:

وإن بَنَى في الأرض أو غَرَس لزمه القلع وأرْش نقصها وتسويتها والأجرة

“Dan apabila seseorang membangun di atas tanah seseorang atau dia menanamnya, maka wajib baginya untuk mencabutnya atau menambahkan tanah yang kurang dan meratakannya dan membayar biaya atau upah dari penggunaan lahan tersebut.”

Jadi jika si tukang rampas tadi menguasai hak orang dengan cara tanpa hak. Misalnya ada tanah yang pemiliknya mungkin berada di tempat yang jauh. Lalu kemudian dia bangun di atasnya rumah atau ruko atau rumah bedeng atau rumah pondok dan segala macamnya atau dia tanam tumbuhan tua (seperti pohon jati, pohon mangga, pohon durian). Ketika si pemiliknya mengetahui itu dan dia mengatakan “kembalikan tanah saya”, maka si perampas melakukan hal-hal berikut ini:

  • Kalau dia membangun bangunan di tanah tersebut, maka harus dia runtuhkan dan dia ambil semuanya sampai ke pondasinya.
  • Kalau pohon, maka harus dia tebang dan dia cabut sampai ke akar-akarnya.

Hal ini tentu kalau tidak ada manfaat bagi si pemilik tanah. Kalau ada manfaat bagi pemilik tanah, maka pertambahan dari tanah itu adalah miliknya pemilik tanah. Hal ini karena tidak ada perintah untuk membangun atau menanam di atasnya. Kalau pemilik tanah mengatakan: “Saya ingin tanahnya dan apa yang di atasnya tinggalkan, kamu nggak perlu cabut, nggak perlu bayar biaya lagi”, kalau si perampas meminta uang, maka kata Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ

“Jerih payah dari yang dzalim itu tidak ada haknya.” (HR. Bukhari)

Sehingga orang yang merampas dengan cara dzalim, tidak ada hak bagi dia untuk dibayarkan atas biaya yang telah dikeluarkannya untuk membangun dan untuk mencabut.

Jadi solusinya bisa jadi dia cabut, hal ini kalau umpamanya si pemilik tanah tidak ingin rumah seperti yang sudah dibangun oleh perampas. Misalnya si pemilik tanah ingin membuat ruko, sedangkan si perampas membangun rumah tinggal. Maka untuk menghancurkan bangunan tersebut memerlukan biaya yang mungkin biayanya lebih besar daripada membangunnya. Maka ini menjadi kewajiban si ghasib (perampas). Tentu si ghasib dipaksa oleh pihak yang berwenang.

Jika ditanami pohon tua kemudian si pemilik ingin menanam pohon yang sama, maka لا ضرر ولا ضرار (Tidak boleh memberikan mudzarat tanpa disengaja ataupun disengaja). Kalau si pemilik tanah ingin menanam pohon durian dan pohon mangga juga. Jika pohon itu harus dicabut, berarti akan ada mudzarat terhadap pohon tadi. Sedangkan bagi si ghasib tidak ada manfaatnya pohon ini lagi. Maka bisa dibiarkan saja.

Jika si pemilik tanah tidak setuju dengan pohon yang sudah ditanam. Misalnya pemilik tanah tidak mau menanam pohon besar, tapi dia ingin menanam singkong. Maka si ghasib wajib mencabut pohon tadi dan wajib membayar kekurangan dari selisih tanah tadi. Kalau dia tanam dengan tanaman, tentu unsur hara dan kesuburan tanah berkurang. Maka dinilai tanah ini sebelum dulu ditanam, misalnya 1 Milyar. Setelah ditanam dan dicabut dengan unsur hara yang berkurang, harganya menjadi 700 juta. Maka si ghasib (perampas) selain dia harus mencabut pohonnya, dia membayar juga 300 juta rupiah.

Kewajiban lain si perampas adalah jika pohon sudah dicabut dan bangunan sudah dibongkar sampai ke pondasinya, tentu tanahnya akan berlubang dan bekas-bekas semen. Maka itu menjadi tanggung jawab dari yang merampas.

Yang juga menjadi kewajiban perampas adalah membayar upah. Jika seseorang sudah menguasai ini selama 4 tahun, maka dihitung berapa sewa tanah ini per tahunnya. Andai sewa tanah pertahunnya adalah 25 juta, maka dikali 4 tahun, sehingga dia harus membayar 1oo juta rupiah.

Jadi dia haru meruntuhkan bangunan sampai ke pondasinya, mencabut pohon tua tadi sampai ke akar-akarnya, kemudian dia membayar kekurangan dari harga tanah, kemudian dia berkewajiban untuk meratakan tanah seperti semula, dan kewajiban selanjutnya dia membayar sewa tanah ini selama dia rampas.

Mualif berkata:

ولو غصب جارحا “أو عبدا” أو فرشا فحصل بذلك صيد فلمالكه

“Apabila seseorang merampas hewan pemburu (anjing pemburu, burung rajawali yang sudah dididik dan bisa dilepas untuk mengejar hewan-hewan kecil), atau budak, atau kuda, kemudian dia dapatkan dari hewan yang digunakan untuk berburu itu binatang buruan, maka jadi milik si pemilik hewan pemburu.”

Jika yang dirampasnya adalah hewan yang bisa bekerja sendiri. Seperti anjing pemburu yang dilatih, sehingga ketika dilepas anjing itu mengejar hewan buruan, umpamanya kelinci atau kijang atau rusa yang didapatkannya. Dan anjing pemburu tadi, dalam syariat boleh. Kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

مَنِ اتَّخَذَ كَلْباً إِلاَّ كَلْبَ مَاشِيَةٍ ، أوْ صَيْدٍ ، أوْ زَرْعٍ ، انْتُقِصَ مِنْ أجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ

“Siapa yang memelihara anjing bukan untuk berburu dan bukan untuk menjaga kebun, maka akan berkurang pahalanya setiap hari 1 qirath.” (HR. Muslim)

Berarti kalau untuk berburu dan untuk menjaga kebun atau menjaga hewan, ini diperbolehkan. Tapi bolehkah dijual? Jawabnya tidak boleh. Karena Rasulullah melarang dari harga penjualan anjing. Yang anjing ini harganya mahal, kalau sekarang mungkin anjing pelacak.

Adapun hasil dari tangkapan ajing tadi halal dimakan. Kata Allah Subhanahu wa Ta’ala:

…وَمَا عَلَّمْتُم مِّنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّـهُ ۖ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّـهِ عَلَيْهِ…

Dengan syarat ketika anjing itu dilepas untuk berburu, Anda bacakan “bismillah” dan dia mengejarnya. Apa yang membedakan antara anjing pemburu dengan bukan anjing pemburu? Yaitu anjing Anda tidak diajarkan untuk berburu. Jika dia dilepas dan dia menangkap hewan buruan, maka hewan buruan tidak halal untuk Anda makan bila dia mati. Kalau anjing yang sudah diajarkan untuk berburu, kalau buruan yang ditangkap mati, tetap halal untuk dimakan. Sehingga para ulama mengatakan bahwa Allah membedakan antara anjing terpelajar dengan anjing yang tidak belajar.

Untuk anjing yang diajarkan berburu, hasil tangkapannya walaupun mati dan digigitnya lalu dibawanya dengan giginya kepada tuannya, itu halal dimakan dengan syarat ketika melepasnya membaca bismillah. Untuk anjing yang tidak diajarkan cara berburu, jika dia menangkap dan dibawa kepada tuannya juga, ini tidak halal walaupun perbuatannya sama. Apa yang membedakan dua hal ini? Jawabnya adalah ilmu. Allah membedakan anjing yang punya ilmu dengan anjing yang tidak punya ilmu.

Mari download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.

Download mp3 Kajian

Download mp3 kajian yang lain di mp3.radiorodja.com


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/48784-cabang-cabang-dari-kaidah-al-ghashab/